KoGa say's

Sugeng Rawuh Wonten webBlog-ipun Kulo...
Menawi Sampun Mriksani suMonggo dipunAturi Ninggalake Pitutur ingkang Cetha lan Sae!!
Bisnis di Internet, Temukan Cara Menghasilkan $1.185,33 dalam 1 hari

Kamis, 24 Juli 2008

MENEMUKAN BUKU YANG MAMPU MELANGITKANKU

*Bagaimana Aku Membangun Diriku sebagai Penulis yang Produktif dan Kreatif?*

*Oleh Hernowo*
disampeiken pada SilNas FLp 12 juli 2008


Izinkan aku mengisahkan perjalanan hidupku ketika aku mampu mengubah diriku
menjadi seorang penulis. Aku percaya akan adanya bakat menulis. Namun, aku
mampu menjadi penulis bukan karena bakat. Aku mulai sadar bahwa menulis (dan
juga membaca) sangat bermanfaat bagi diriku ketika usiaku melewati angka 40
tahun. Ketika itu, aku sudah bekerja di Penerbit Mizan selama hampir 13
tahun. Dan ketika usiaku mencapai 44 tahun, aku berhasil menerbitkan
karya-pertamaku, *Mengikat Makna*. Judul bukuku ini diilhami oleh kata-kata
Ali bin Abi Thalib r.a., "Ikatlah ilmu dengan menuliskannya."

Bagiku, *Mengikat Makna* merupakan simbol perjuanganku dalam menemukan
secara konkret dan nyata seabrek manfaat membaca. Dalam berjuang menemukan
pelbagai manfaat membaca inilah kemudian aku diantarkan menuju sebuah
wilayah baru bernama "mengikat makna". Di halaman 46 buku *Mengikat Makna*,
aku menulis, "Penerbit tempatku bekerja terus mengalirkan teks demi teks,
membanjiri toko-toko buku. Apakah para pembeli buku keluaran penerbitku
benar-benar membaca dalam arti membaca yang sesungguhnya?"

Pertanyaanku itu kemudian semakin kupertajam, "Yaitu, dengan tekun dan
gairah mengunyah teks demi teks, lalu berusaha keras memahami gagasan yang
ditawarkan oleh seorang pengarang, dan, akhirnya, gagasan yang diserap
mereka dapat menggerakkan mereka untuk berbuat sesuatu yang lebih baik? Aku
tak ingin melanjutkan soal penting yang memprihatinku ini. Aku hanya
tertarik untuk mengisahkan pengalamanku dalam menghindari jebakan kebosanan
sewaktu berhadapan langsung dengan teks."



*Proses Kreatif dan Sumber Inspirasiku dalam Menulis*

Aku membangun kecintaanku terhadap kegiatan membaca dan menulis lewat
konsepku bernama "mengikat makna". Prinsip kegiatan "mengikat makna"
sederhana, yaitu memadukan kegiatan membaca dan menulis secara bareng dan
tertata. Setiap kali aku selesai membaca sebuah buku, aku kemudian
merenungkan dan mencerna hasil kegiatan membacaku tersebut dan menuliskannya
atau "mengikat" hasil-hasil membacaku yang mengesankanku.

Dan aku tidak sembarangan dalam menuliskan hasil-hasil membacaku. Aku
benar-benar berusaha sangat keras untuk menuliskan hal-hal penting dan
berharga (atau yang bermakna) dari kegiatan membacaku tersebut. Aku tidak
mau menjalankan kegiatan membaca yang asal-asalan. Aku juga tidak mau
kegiatan membacaku tidak menghasilkan sesuatu yang konkret dan bermakna.
Sebelum aku menemukan konsep "mengikat makna", berkali-kali aku dikecewakan
dengan kegiatan membacaku. Apa yang kubaca ternyata mudah aku lupakan. Aku
mudah lupa dengan apa yang kubaca karena aku memang tidak bisa mengingat
semua hal yang ingin kuingat.

Nah, lewat "mengikat makna", aku kemudian tidak pernah lupa dengan materi
menarik yang kubaca. Aku tidak sekadar menandai (menstabilo) sederetan
kalimat yang menyimpan konsep-konsep penting dari sebuah buku yang kubaca.
Aku juga tidak sekadar memindah atau menyalin kata-kata mengesankan seorang
penulis yang kutemukan di buku yang kubaca ke buku harian milikku. Aku
menuliskan dengan bahasaku sendiri semua itu. Aku mencoba "memaknai" hasil
membacaku sesuai dengan kapasitas yang ada di dalam diriku.

Akhirnya, bukan saja keterampilan membacaku meningkat sangat pesat. Aku pun
mampu melejitkan keterampilan menulisku secara luar biasa. Yang menakjubkan,
seiring dengan melejitnya keterampilan membaca dan menulis, aku pun
kemudian, secara terus menerus, mampu menumbuhkan kecintaanku terhadap dua
kegiatan penting tersebut. Tidak pernah sehari pun aku menyia-nyiakan
waktuku untuk tidak membaca dan menuliskan sesuatu. Setiap ada waktu luang,
aku pasti menjalankan kegiatan membaca dan menulis. Apakah aku sedang naik
kereta api, menunggu resep dokter, atau menunggu tamu, aku pasti
memanfaatkannya untuk membaca dan menulis.

Dalam sebuah bukuku yang kujuduli *Spirit Iqra'*, aku merekam secara detail
kegiatan "mengikat makna" yang kulakukan selama aku menjalankan kegiatan
ibadah puasa di bulan Ramadhan. Ada kira-kira 40 topik "ikatan makna" yang
aku hasilkan. Memang, berpuasa di bulan Ramadhan hanya berlangsung sebulan
atau 30 harian. Namun, sebelum dan sesudah bulan Ramadhan, aku masih
menghasilkan beberapa "ikatan makna" sehingga jumlahnya melebihi 30 hari.

Setelah aku menjalankan "mengikat makna" di bulan Ramadhan, aku pun
menjalankan "mengikat makna" lagi ketika aku naik haji bersama istriku.
Sejak sebelum berangkat naik haji, aku sudah menuliskan pengalamanku dalam
mempersiapkan hajiku. Setibanya di Tanah Suci, aku pun tak pernah lupa untuk
mengisi waktu-waktu kosongku dengan membaca buku dan menuliskan
pengalamanku. Aku merasakan sekali, betapa bermanfaatnya "merekam"
kegiatanku di Tanah Suci secara tertulis. Aku jadi senantiasa mengingat
momen-momen mengesanku selama berkunjung di Masjidil Haram, Masjid Nabawi,
makam Rasulullah Saw., dan tempat-tempat suci yang lain.

Apa hikmah yang aku peroleh dari kegiatan "mengikat makna" yang aku jalankan
secara maraton, kontinu, dan konsisten ini? *Pertama*, aku menyadari sekali
bahwa membaca dan menulis itu merupakan keterampilan. Jika aku ingin
menguasai sekaligus mencintai dua kegiatan tersebut, aku pun harus
membiasakan diri menjalankannya. Kata-kata Elizabeth Winthrop ini menarik
untuk menopang hikmah pertama yang aku temukan:

"Kalau Anda ingin menjadi penari profesional, tentu Anda harus berlatih
setiap hari. Kalau Anda ingin bermain sepakbola di divisi utama, Anda pun
harus latihan menendang dan menggiring bola ratusan kali. Menulis memerlukan
hal yang sama. Anda perlu berlatih, artinya Anda harus terus menulis dan
membaca."

*Kedua*, aku kemudian dapat membuktikan bahwa membaca memerlukan menulis dan
menulis memerlukan membaca. Dalam bahasa yang lain, hal tersebut dapat
dirumuskan sebagai berikut: Kegiatan membaca yang tidak diikuti dengan
kegiatan menulis akan menjadikan kegiatan membaca itu tidak menghasilkan
manfaat langsung dan konkret. Sebaliknya, kegiatan menulis yang tidak
diawali dengan kegiatan membaca, ada kemungkinan akan menjadi kegiatan yang
sulit dan menyiksa. Melanjutkan menulis setelah membaca akan menjadikan
kegiatan membaca itu benar-benar efektif.

Kata-kata Stephen D. Krashen, pakar linguistik, yang menulis buku *The Power
of Reading* ini, menarik untuk kita perhatikan secara saksama: "Akhirnya,
kesimpulanku sederhana. Jika anak-anak dapat membaca untuk kesenangan (akrab
dengan buku), mereka akan memperoleh, secara tidak sengaja dan tanpa usaha
yang dilakukan dengan sadar, hampir semua hal yang disebut 'keterampilan
kebahasaan'…. Hasil-hasil riset dengan jelas menunjukkan bahwa kita belajar
menulis lewat membaca."

*Ketiga*, masih terkait dengan hikmah kedua, membaca adalah
*memasukkan*sebanyak mungkin kata-kata ke dalam diriku, sementara
*menulis* adalah mengeluarkan pengetahuan dan pengalaman yang sudah
tersimpan lama di dalam diriku lewat bantuan kata-kata. Jika kita suka dan
bisa membaca, wawasan kita pasti bertambah luas. Namun, ternyata kegiatan
membaca tidak hanya berfungsi sangat penting untuk mencari ilmu secara
sangat mendalam. Membaca juga dapat berfungsi untuk memperkaya diri kita
dengan kata-kata. Semakin banyak dan beragam buku yang kita baca, semakin
kaya dan beragam pula simpanan kata di dalam diri kita.

Akhirnya, jika kita memiliki banyak sekali kata di dalam diri kita, keadaan
ini akan memudahkan kita menulis atau merumuskan sesuatu. Lewat hikmah
ketiga ini, aku ingin menambahkan hal penting: Kadang-kadang, ada banyak
sekali ide berkeliaran di dalam diriku. Namun, ketika ide-ide yang
berkeliaran di kepalaku itu hendak kutuliskan atau rumuskan, aku mengalami
kesulitan yang luar biasa. Ada semacam hambatan atau kemacetan. Menurut
pengalaman dan pengamatanku, kemacetan itu terutama disebabkan oleh
miskinnya kata-kata yang terdapat di dalam diriku. Dan untuk mengatasinya,
tiada jalan lain kecuali dengan membaca.

Dari mana sumber inspirasiku dalam menulis? Aku ingin menjawab singkat:
buku. Ya, buku-buku yang kubaca telah berhasil memperkaya diriku dan memasok
materi-materi yang layak kutuliskan. Di buku *Mengikat Makna*, aku
menderetkan buku-buku yang telah mempengaruhi diriku. Aku membaca buku apa
saja. Aku percaya bahwa ketika seseorang sedang membaca, dia sebenarnya
sedang menyerap kemampuan yang ada di dalam diri si penulis yang bukunya
sedang dia baca. Atau, aku percaya sekali dengan kata-kata Rene Descartes
berikut ini:

"… membaca buku yang baik itu bagaikan mengadakan percakapan dengan para
cendekiawan yang paling cemerlang dari masa lampau—yakni para penulis buku
itu. Ini semua bahkan merupakan percakapan berbobot lantaran dalam buku-buku
itu mereka menuangkan gagasan-gagasan mereka yang terbaik semata-mata…."

Aku kemudian menajamkan istilah "buku yang baik" itu sebagai "buku yang
bergizi". Aku memang membaca buku apa saja, tetapi buku yang kubaca harus
buku yang memberiku "gizi". Buku yang kubaca tidak boleh hampa,
kosong-melompong tidak berisi. Oleh sebab itu, sebelum aku membaca sebuah
buku---buku apa saja---aku pun mencicipinya terlebih dahulu. Dan begitu aku
selesai membaca, sebagaimana aku jelaskan di atas, aku pun lantas "mengikat"
hal-hal yang berharga yang terdapat di dalam buku yang kubaca tersebut.

Kadang-kadang, aku tidak mendapatkan hal-hal yang berharga dari sebuah buku
yang kubaca. Aku pun mempelajari dan mencari alasan mengapa buku yang kubaca
tidak dapat kuserap maknanya? Apakah aku yang memang tidak becus membaca
atau, sesungguhnya, buku yang kubaca itulah yang memang tidak menawarkan
apa-apa kepadaku? Aku lantas belajar banyak dari kegiatan membaca dan
menulisku. Aku tulis semua pengalaman diriku ketika aku bersentuhan dengan
buku-buku yang kubaca. Dan ingin kuberitahu di sini tentang salah satu buku
yang sangat mempengaruhiku ketika aku membangun diriku sebagai seorang
penulis. Buku itu benar-benar memberdayakanku. Judul buku itu *Quantum
Learning*.

*Quantum Learning* adalah buku yang benar-benar mampu mengubah diriku. Aku
belajar dari *Quantum Learning* tentang bagaimana menulis dengan dua belahan
otakku, yaitu otak belahan kiri dan kananku. Aku juga belajar dari *Quantum
Learning* bagaimana menulis yang menghasilkan tulisan yang dapat
membangkitkan gairah dan semangat untuk memperbaiki hidup. Dan aku belajar
dari *Quantum Learning* bagaimana "mengemas" sebuah buku menjadi buku yang
mampu memberdayakan para pembacanya. Pokoknya, *Quantum Learning* telah
menginspirasi diriku bahwa buku dapat ditampilkan secara tidak biasa.

Buku *Mengikat Makna *kutampilkan dengan meniru persis kemasan model *Quantum
Learning*. Bahkan dua bukuku yang lain, *Quantum Reading* dan *Quantum
Writing*, kuciptakan ketika diriku benar-benar sudah disusupi oleh
mantra-mantra ajaib *Quantum Learning*. Mungkin saja aku kemudian dapat
menjadi penulis yang produktif (dalam waktu 4 tahun pernah menghasilkan 24
buku) dan kreatif (senantiasa mampu menyajikan buku-buku yang kaya makna dan
tema) berkat buku yang memberdayakan bernama *Quantum Learning*.



*Kiat Menampilkan Buku secara Kreatif dan Bagaimana Memenuhi Selera Pasar
yang Senantiasa Berubah*

Penulis yang ingin tetap hidup di masa kini tampaknya tidak cukup jika hanya
menulis dan menghasilkan ide. Penulis-penulis yang ingin bertahan hidup di
zaman yang terus berubah seperti sekarang ini, harus mau dan mampu
meningkatkan hasratnya untuk "membaca" pasar. Mereka harus rajin
keluar-masuk toko buku, bukan hanya keluar-masuk perpustakaan. Mereka juga
harus terus-menerus berinteraksi dengan milis-milis dan beragam
*weblog*yang menjamur di internet. Rakus membaca buku sebanyak mungkin
adalah salah
satu kunci-utama menjadi penulis sukses di zaman sekarang.

Ketika aku bertanya kepada Andrea Hirata, pengarang novel-sangat laris *Laskar
Pelangi*, tentang apa yang membuatnya sukses, dia menjawab pendek,
"Membaca." Andrea memang mengaku tidak banyak membaca karya sastra. Dia baru
membaca karya sastra setelah Laskar Pelangi jadi. Sebelum menciptakan *Laskar
Pelangi*, dia mengaku banyak membaca buku-buku sains, ekonomi, dan juga
jurnal-jurnal ilmiah yang memperkaya dirinya. Andrea Hirata, sebelum menjadi
penulis, sesungguhnya adalah manusia yang memang "rakus membaca".

Perhatikan sebuah adegan di sebuah halaman di *Laskar Pelangi* berikut ini:
"Buku itu kugenggam erat di atas pangkuanku dan aku segera menyadari bahwa
seluruh kehidupan dewasaku telah terinspirasi oleh buku kumal yang selalu
kubawa ke mana-mana itu. Dulu, ketika frustrasi karena berpisah dengan A
Ling, maka pesona Desa Edensor, Taman Daffodil, dan jalan pasar berlandaskan
batu-batu bulat, serta hamparan sabana di bukit-bukit Derbyshire telah
menghiburku. Kemudian pada masa dewasa ini, ketika kehidupanku di Bogor
berada pada titik terendah, aku perlahan-lahan bangkit juga karena semangat
yang dipancarkan oleh Herriot, sang tokoh utama buku itu. Seperti ajaran Pak
Harfan, Bu Mus, dan Kemuhamadiyahan, Herriot juga mengajariku tentang
optimisme dan bagaimana aku harus berjuang untuk meraih masa depanku.

"Seminggu setelah kulemparkan naskah bulu tangkisku ke Kali Ciliwung, aku
membaca sebuah pengumuman beasiswa pendidikan lanjutan dari sebuah negara
asing. Aku segera menyusun rencana C, yaitu aku ingin sekolah lagi! Kemudian
setelah itu tak ada satu menit pun waktu kusia-siakan selain untuk belajar.
*Aku membaca sebanyak-banyaknya buku*. Aku membaca buku sambil menyortir
surat, sambil makan, sambil minum, sambil tiduran mendengarkan wayang golek
di radio AM. Aku membaca buku di angkutan umum, di dalam jamban, sambil
mencuci pakaian, sambil dimarahi pelanggan, sambil disindir ketua ekspedisi,
sambil mengikuti upacara Korpri, sambil menimba air, atau sambil memperbaiki
atap bocor.

"Bahkan aku membaca sambil membaca. Dinding kamar kosku penuh dengan grafiti
rumus-rumus kalkulus, GMAT, dan aturan-aturan *tenses*. Aku adalah
pengunjung perpustakaan LIPI yang paling rajin dan *shift* sortir subuh yang
dulu sangat kubenci, sekarang malah kuminta karena dengan demikian aku dapat
pulang lebih awal untuk belajar di rumah. Jika beban pekerjaan demikian
tinggi, aku membuat resume bacaanku dalam kertas-kertas kecil. Inilah teknik
jembatan keledai yang dulu diajarkan Lintang kepadaku. Kertas-kertas kecil
itu kubaca sambil menunggu ketua pos menurunkan kantong-kantong surat dari
truk." (*Laskar Pelangi*, hlm. 458-459)

Menurutku, berpijak pada hal-hal yang kujelaskan sebelum ini, ada tiga tipe
penulis yang bisa hidup di zaman sekarang. *Pertama* adalah para penulis
yang senantiasa konsisten dan kontinu dalam menghadirkan tema-tema dan
ide-ide baru yang orisinal; *kedua*, para penulis yang menganut mazhab
"follower"; dan *ketiga*, para penulis yang piawai dalam memanfaatkan momen.
Para penulis yang masuk dalam kelompok pertama tentu para penulis istimewa.
Namun, para penulis yang masuk dalam kelompok kedua dan ketiga juga tidak
boleh dianggap sebagai penulis kacangan. Mereka adalah penulis-penulis yang
kreatif.

*Penulis yang senantiasa menghadirkan kebaruan*. Sesungguhnya, terkait
dengan dunia tulis-menulis, tidak ada yang murni orisinal di muka bumi ini.
Yang ada adalah kombinasi baru dari hal-hal yang pernah muncul. Dalam
kaitannya dengan buku, bisa jadi materi yang ditulisnya tidak baru namun
"pengemasannya" baru. Ini bisa terjadi jika buku itu mampu memiliki judul
yang segar dan judul itu mampu memendam ide-ide yang baru. Bisa jadi juga
dalam konteks penyajian dan pengemasannya, buku itu tidak tampil seadanya.
Misalnya saja, buku itu ditampilkan dalam bentuk dua halaman yang
berbeda. Halaman
kiri berisi teks sebagaimana biasa, sementara halaman kanan diisi oleh
ilustrasi atau teks-teks yang memantik semangat.

Penulis seperti Habiburrahman El-Shirazy dan Andrea Hirata adalah
penulis-penulis yang sangat pantas untuk kita kaji. Kedua penulis ini
memiliki karakter. Keduanya benar-benar dapat tampil sangat berbeda dengan
para penulis lain sezamannya. Keduanya benar-benar *excel* (mencuat). Apa
rahasia mereka sehingga karya-karyanya dapat disukai oleh para pembaca di
Indonesia dan juga di luar negeri? Tentu ada banyak faktor yang membuat
buku-buku karya mereka sangat laris. Namun, sekali lagi, ide-ide yang baru
dan penyajian yang tidak biasalah yang bisa menjamin sebuah karya itu sangat
digemari oleh pembacanya.

*Penulis yang menganut mazhab "follower"*. Aku pernah memanfaatkan potensi
menulisku untuk ikut menjadi penulis "follower". Buku yang kutulis berjudul,
*Al-Quran Bukan Da Vinci's Code*. Aku menulis buku ini dengan nama samaran.
Dari judulnya, buku yang kutulis ini ingin mengikuti novel sangat-sangat
laris karya Dan Brown, *Da Vinci Code*. Hanya bukuku itu bukan buku fiksi.
Buku *Al-Quran Bukan Da Vinci's Code* adalah buku yang ingin menunjukkan
"kesaktian" Al-Quran ketika Al-Quran diserang oleh orang-orang yang tidak
menyukainya. Aku menulis buku itu dengan cara memanfaatkan khazanah
bacaanku. Selain itu, aku mengangkat tema ini dengan lebih dahulu mencari
berita-berita yang membahas Al-Quran dalam sudut pandang tidak biasa.

Berita yang kuangkat adalah berita tentang ditemukannya manuskrip kuno
Al-Quran di Yaman. Itu terjadi pada tahun 1972 ketika Masjid Agung San'a,
yang ada di Yaman, direstorasi. Lantas, ada seorang penulis bernama Toby
Lester yang mengangkat kontroversi temuan itu di jurnal *The Atlantic
Monthly* pada Januari 1999, dengan judul "What is the Koran?" Lewat
internet, aku dimudahkan untuk melacak berita-berita itu. Yang
mencengangkanku, aku kemudian mendapatkan bahan-bahan yang sangat kaya.
Semua itu aku kumpulkan dan memingta bantuan orang lain untuk diterjemahkan.

Selain di jurnal *The Atlantic Monthly*, aku juga mengacu ke berita yang
diangkat oleh majalah *Gatra* edisi Nomor 37/IX, 2 Agustus 2003. Judul
berita yang terpampang di sampul depan majalah itu cukup memancing rasa
penasaran. Judul itu berbunyi, "Menggugat Kearaban Quran". Meskipun
berita-berita tentang Al-Quran itu terjadi sudah cukup lama, yaitu yang satu
berjarak tujuh tahun dan yang satu lagi berjarak sekitar empat tahun dengan
tahun penulisan bukuku, namun yang perlu kutekankan di sini adalah aku
menulis dengan berpijak pada hal-hal yang kukuh, yang tercetak. Aku menulis
dengan merujuk ke sumber-sumber yang jelas dan tepercaya.

*Penulis yang memanfaatkan momen*. Aku menjadi penulis model kategori ketiga
ini ketika menulis buku semi-fiksi, *Aku Ingin Bunuh Harry Potter!* Aku
menulis buku ini karena aku memang suka dengan temanya. Aku sempat
tergila-gila dengan karya Rowling yang membangkitkan imajinasiku. Aku lantas
menciptakan tokoh bernama Heri Puter. Kebetulan, ketika aku punya niat
membuat buku ini, dunia lagi heboh dengan akan hadirnya jilid terakhir *Harry
Potter*. Waktu itu ada isu bahwa tokoh utama novel fantasi yang sangat
laris, Harry Potter, akan dimatikan oleh penciptanya.

Begitulah. Isu tentang Harry Potter yang akan dimatikan oleh Rowling dijilid
terkahir merebak di internet. Lagi-lagi, internet menolongku dalam membuat
buku model *beginian*. Aku, terutama, sangat tertolong oleh sebuah situs
yang sangat kaya dan terus di-*update*, *Wikipedia*. Aku juga berlangganan
berita dari "Google Alert" yang senantiasa mengirimi berita-berita terbaru
tentang *Harry Potter* ke *mailbox*-ku setiap hari. Kadang tidak hanya satu
berita yang masuk ke *mailbox*-ku. Sehari aku bisa menerima sekitar tiga
hingga lima berita.

Kadang-kadang buku-buku yang memanfaatkan momen dapat meledak. Edisi pertama
*Aku Ingin Bunuh Harry Potter!*, dalam satu bulan bisa cetak ulang hingga
tiga kali. Itu tentu sangat menggembirakanku. Akhirnya, aku pun memperluas
edisi lama bukuku itu setelah jilid ketujuh atau terakhir *Harry
Potter*dalam bahasa Inggris terbit. Aku menambah dengan memasukkan
komentar menarik
Stephen King tentang novel fantasi *Harry Potter*, dan juga menunjukkan
manfaat membaca buku, khususnya buku *Harry Potter*. Untuk memancing
sensasi, aku mau dijadikan model desainer sampul buku *Aku Ingin Bunuh Harry
Potter!* edisi yang diperluas (*extended version*).[]









*Bahan Bacaan:*

* *

Coady, Roxanne J., dan Joy Johannessen, *The Book That Changed My
Life*(Gotham Books, 2006).

Dewabrata, A.M., *Kalimat Jurnalistik: Panduan Mencermati Penulisan
Berita*(Penerbit Buku Kompas, 200e4).

Fishman, Roland, *Creative Wisdom for Writers: Menulis itu
Jenius*(IndonesiaTera, 2005).

Hernowo*, Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza: Rangsangan Baru untuk Melejitkan
"Word Smart"* (Kaifa, 2003, cetakan ke-3).

*_______, Mengikat Makna Sehari-hari: Bagaimana Mengubah Beban Membaca dan
Menulis menjadi Kegiatan yang Ringan-Menyenangkan *(MLC, 2005).

*_______, Mengikat Makna untuk Remaja* (MLC, 2004).

_______*, Mengikat Makna: Kiat-Kiat Ampuh untuk Melejitkan Kemauan dan
Kemampuan Membaca dan Menulis Buku* (Kaifa, 2001, cetakan ke-7).

*_______, Quantum Reading: Cara Cepat nan Bermanfaat untuk Merangsang
Munculnya Potensi Membaca* (MLC, 2003, cetakan ke-6).

*_______, Quantum Writing: Cara Cepat nan Bermanfaat untuk Merangsang
Munculnya Potensi Menulis* (MLC, 2003, cetakan ke-7).

*_______, Spirit Iqra': Menghimpun Samudra Makna Ramadhan* (Mizania, 2003).

*_______, Vitamin T: Bagaimana Mengubah Diri lewat Membaca dan Menulis *(MLC,
2004).

Jennings, Paul, *Agar Anak Anda Tertular "Virus" Membaca* (MLC, 2006).

King, Stephen, *On Writing: A Memoir of the Craft* (Simon and Schuster,
2001).

Krashen, Stephen, *The Power of Reading: Insights from the
Research*(Libraries Unlimited Inc., 1993).

Plimpton, George (ed.), *Taruhan Mewujudkan Tulisan: Proses Kreatif Sebelas
Penulis Perempuan Terkemuka Dunia* (Jalasutra, 2006).

Provost, Gary, *100 Ways to Improve Your Writing: Cara Meningkatkan
Kemampuan Menulis* (Dahara Prize, 1999).

Sayuti, Suminto A., *Taufiq Ismail: Karya dan Dunianya* (Grasindo, 2005).

Vitale, Joe, *Hypnotic Writing: Cara Membujuk dan Meyakinkan Pelanggan (dan
SIAPA PUN) Hanya dengan Kata-Kata Anda* (Gramedia Pustaka Utama, 2008).

Widjanarko, Putut, *Elegi Gutenberg: Memposisikan Buku di Era
Cyberspace*(Mizan, 2000).

Wycoff, Joyce, *Menjadi Superkreatif Melalui Metode "Pemetaan
Pikiran"*(Kaifa, 2002).

Menulis Memoar

(tulisane Pipiet senja pas silnas FLP 12 juli 2008)
*1. **Mengapa Menulis Memoar?*

Pertanyaan seperi di atas sering kali muncul dari peserta
workshop kepenulisan di mana saya menjadi pembicaranya. Terutama kalau saya
sedang meluncurkan atau bedah buku, karya saya berupa memoar.

· Dengan menulis memoar aku bisa bersibuka lebih leluasa, berbagi
pengalaman dengan cara sederhana, bertutur kata yang bersahaja.

· Orsinalitas sangat terpelihara; karena tak semua orang memiliki
lakon yang sama, pemikiran dan solusi yang serupa.

· Ada sesuatu yang ingin disampaikan dan hanya bisa melalui jenis
tulisan semacam memoat atau catatan harian ini, tidak bisa disampaikan
melalui fiksi seperti novel.

· Bisa lebih jujur dalam menyampaikan parasaan, pemikiran atau visi
dan misi perikehidupan kita.

· Lebih karena alasan pribadi; saya sering merasa hampir tak punya
waktu lagi, mengingat penyakit abadi yang saya derita, jadi setiap saat
sering tergelitik untuk mencatat lakon demi lakon. Sehingga begitu banyak
buku harian, akhirnya merasa sayang kalau dibiarkan "bulukan" begitu saja.

* *

*2. **Apakah Tidak Menimbulkan Pro dan Kontra?*

· Memang harus diakui, ada pro dan kontra yang lumayan signifikan
dibandingkan dengan karya berupa fiksi.

* *

*3. **Bagaimana Menyikapi Kecaman Pembaca?*

· Sebagaimana dengan karya fiksi, saya tidak akan morang-maring,
meskipun mendapat kecaman yang menyakitkan dan tidak relevan sama sekali.**

· Kita menjelaskan apa adanya, apa yang diinginkan atau menjadi rasa
penasaran pembaca.**

* *

*4. **Benarkah Memoar Tidak Dianggap Sebagai Karya Sastra?*

· Tergantung bagaimana penulis menyampaikannya; apakah dengan bahasa
sastra atau ringan yang lazim disebut sebagai karya populer.

*5. **Kapan Mulai Menulis Memoar?*

· Sejak remaja, memoar pertama yang saya terbitkan adalah Sepotong *Hari
di Sudut Kamar* (Sinar Kasih, 1979)

· Memoar ke-2 adalah *Cahaya di Kalbuku* (DAR! Mizan, 2002)

· Memoar ke-3 adalah *Langit Jingga Hatiku* (Gema Insani Press, 2004)

· Memoar ke-4, merupakan gabungan hingga sekarang adalah *Dalam
Semesta Cinta* (dalam proses terbit, Penerbit jendela, 2008

frozz's shared items